Sakit memang dateng nggak kenal waktu, mau tanggal tua atau tanggal muda, tetep saja kalo lagi datang ya datang saja. Kalo tanggal muda sakit yang hinggap masih sesuai teks book, tapi kalo tanggal tua cenderung penyakit-penyakit yang berhubungan dengan Penyumbatan pembuluh dompet, Peradangan lipatan kantong dan gak jauh dari yang namanya kocek tipis. Dan akan sembuh seketika jika gajian tiba. Selain nggak kenal waktu, penyakit juga nggak kenal orang. Nggak peduli mau Bos, Ekspatriat, Karyawan kontrak, karyawan harian semuanya bisa dihinggapi. Yang namanya Flu, Demam, Batuk, Radang tenggorokan, Mencret adalah penyakit yang rajin menghinggapi para karyawan di sini. Kondisi jalanan dan area kerja yang penuh debu sangatlah berperan dalam persebaran bibit chandra penyakit.
Karyawan level meneger ke bawah biasanya kalo sakit berobatnya nggak perlu jauh-jauh. Paling ke klinik yang ada ditengah hutan disediain oleh perusahaan. Emang sih kondisi klinik sangat standar dan obat-obatnya terbatas. Tapi kalo dibandingin dengan Puskesmas disekitar sini, kondisi dan peralatan klinik masih bisa dianggap lumayan komplit lho. Kalo di klinik tidak mampu ditangani paling banter ke RS Kabupaten atau mentok-mentoknya di bawa lari ke Ambon. Itupun kalo kondisi financial si karyawan mencukupi. Memang sih perusahaan akan memberikan ganti biaya berobat ke RS jika ada surat Rujukan dari dokter perusahaan. Tapi apa iya....?? Berangkat ke kota bayar transport dan beli makanannya bisa pake Surat Rujukan juga??
Beda banget jika ekspatriat yang sakit. Yang hanya gatel saja berobatnya sampe ke Ibukota. Bahkan kalo kurang puas bisa sampe Singapore lho. Cerita soal gatal... Pernah kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat awal-awal saya bekerja disini. Salah satu ekspatriat disini kena gatal-gatal di kaki. Merasa terganggu, langsung deh meluncur ke Jakarta dan lanjut ke negeri Singa untuk berobat. Setelah menjalani pengobatan akhirnya balik lagi ke lokasi. Seminggu di lokasi dan mengkonsumsi obat-obatan dari RS bintang lima di Singapura tersebut berefek mutah-mutah dengan sedikit ada darah. Mau tidak mau si Ekpatriat konsul ke saya sambil membawa obat-obat impor tersebut. Lha mau konsul kemana lagi wong lokasinya di tengah hutan belantara. Dan ternyata setelah dilihat memang beberapa obat tersebut berefek mengiritasi lambung. Dan si ekspatriat tersebut gak kuat dengan obat itu. Saya rekomendkan untuk sementara stop obat singapur itu dan minum beberapa obat dari klinik tengah hutan. Tapi kata interpreternya dia nggak mau minum obat dari endonesia. Alasannya : takut....
Karyawan level meneger ke bawah biasanya kalo sakit berobatnya nggak perlu jauh-jauh. Paling ke klinik yang ada ditengah hutan disediain oleh perusahaan. Emang sih kondisi klinik sangat standar dan obat-obatnya terbatas. Tapi kalo dibandingin dengan Puskesmas disekitar sini, kondisi dan peralatan klinik masih bisa dianggap lumayan komplit lho. Kalo di klinik tidak mampu ditangani paling banter ke RS Kabupaten atau mentok-mentoknya di bawa lari ke Ambon. Itupun kalo kondisi financial si karyawan mencukupi. Memang sih perusahaan akan memberikan ganti biaya berobat ke RS jika ada surat Rujukan dari dokter perusahaan. Tapi apa iya....?? Berangkat ke kota bayar transport dan beli makanannya bisa pake Surat Rujukan juga??
Beda banget jika ekspatriat yang sakit. Yang hanya gatel saja berobatnya sampe ke Ibukota. Bahkan kalo kurang puas bisa sampe Singapore lho. Cerita soal gatal... Pernah kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat awal-awal saya bekerja disini. Salah satu ekspatriat disini kena gatal-gatal di kaki. Merasa terganggu, langsung deh meluncur ke Jakarta dan lanjut ke negeri Singa untuk berobat. Setelah menjalani pengobatan akhirnya balik lagi ke lokasi. Seminggu di lokasi dan mengkonsumsi obat-obatan dari RS bintang lima di Singapura tersebut berefek mutah-mutah dengan sedikit ada darah. Mau tidak mau si Ekpatriat konsul ke saya sambil membawa obat-obat impor tersebut. Lha mau konsul kemana lagi wong lokasinya di tengah hutan belantara. Dan ternyata setelah dilihat memang beberapa obat tersebut berefek mengiritasi lambung. Dan si ekspatriat tersebut gak kuat dengan obat itu. Saya rekomendkan untuk sementara stop obat singapur itu dan minum beberapa obat dari klinik tengah hutan. Tapi kata interpreternya dia nggak mau minum obat dari endonesia. Alasannya : takut....
Hmm setelah beberapa hari dan entah karena nggak kuat lagi dan nggak percaya dengan obat lokal akhirnya si ekspatriat tersebut pulang ke negara asalnya yang diujung benua. Untuk berobat. Dan apa yang terjadi Ternyata setelah balik lagi ke Endonesia, obat yang dibawa dari negaranya yang sangat maju itu ya sama saja dengan obat yang dari klinik di tengah hutan dan ditolaknya itu...
Hadooh tuan... Pliss deh, produk endonesia nggak kalah kok dengan produk impor.
Tapi ya terserah elo deh... uang uang elo... Sakit juga elo yang ngerasain kok...
*Photo hasil SotoSop tanpa MSG (Mono Sodium Glutamat)
*Photo hasil SotoSop tanpa MSG (Mono Sodium Glutamat)
ternyata dimana mana kasusnya sama ya
BalasHapustetap ada perbedaan kasta yang sudah ga sepantasnya
semua tergantung kita..kesehatan memang mahal
BalasHapusnice inpo gan
BalasHapushihi ternyata obat sama harga beda, apalagi ongkosnya :p
BalasHapusMinyak pelet
BalasHapusminyak mani gajah
Minyak penglaris
minyak pelet pemikat
minyak mani gajah alami
minyak pelet penglaris
obat pembesar payudara alami
obat pembesar payudara import
obat pelangsing badan alami
obat pelangsing badan import
obat penggemuk badan alami
obat penggemuk badan herbal alami
obat kuat pria
obat kuat tahan lama
obat kuat viagra
obat kuat levitra
obat kuat vigrx plus